You were Raised to be Perfect

Siang itu saya bersama suami menikmati perjalanan membelah kemacetan kota Bandung. Sayup-sayup terdengar di radio lagu Perfect milik Ed Sheran.

Iseng, saya bertanya, “Yah, kok Ayah ga pernah bilang am perfect sih?”
Tersenyum kecil, dia bilang, “Masa? Ayah selalu bilang you are perfectionist.”
“Ih, itu kan bedaaaa,” sahut saya sambil manyun. Merajuk.
“Gimana bisa beda? You were born to be perfect, means you are perfect to me.
“Nah, Ayang kan cuma pengen denger bagian akhirnya itu aja. Ga usah perfectionist gitu lho, ga enak rasanya. Kesannya kok kaya...."
"Beda ya, perfectionist ama perfect?" ia memotong kalimat saya.
"Iya laaaah, perfectionist itu semua-semua mesti sempurna."
"Kalau perfect apa?"
"Ya sempurna, tapi ga perfectionist."
Tambah manyun.
Terbahak-bahak, dia usap kepala saya.
I need to appreciate what your parents had done to you. Shaping you into what you’ve became. You were raised to be perfect. Almost twenty years I've known you. There you go. Perfect.

Deg.

Udah ga ringan lagi nih pembicaraan. Dalem pemaknaannya.
Terdiam. Kok dada mulai berdebar ya? Ini mata kenapa ikutan panas, coba? Ga berapa lama, kok mulai menetes airmata.

You were raised to be perfect. Diucapkan dengan hangat, sebagai penghargaan pak suami untuk Mama Papa. Masyaa Allah.....
Saya aja yang diasuh dan dibesarkan malah suka lupa. Bahwa saya yang sekarang adalah hasil didikan dan asuhan mereka. Bahwa ada kata-kata yang terngiang-ngiang di telinga, setiap saya merasa gagal atau kecewa.
Suara Mama, "Mbak gak pernah minta jadi anak pertama, tapi ini takdirNya. Mama Papa ga minta Mbak untuk selalu jadi juara, tapi lakukan yang terbaik yang Mbak bisa. Kenapa? Karena adik-adik akan selalu melihat kakaknya. Bukan berarti harus sempurna, tapi lakukan yang terbaik yang Mbak bisa. Dalam hal apa saja."

Lakukan yang terbaik yang Mbak bisa.

Itu dia. Rabbi.....
Pendorong semangat saya yang paling utama. Sumber penguat di kala lelah, sedih dan frustasi mulai menyapa. Pun hingga Mama telah tiada. Sebaris kalimat itu yang selalu terdengar jelas di telinga. Pelengkap kalimat, Mbak pasti bisa."

Anchor saya. 

Lihat, dengar, rasakan.

Sungguh benar ternyata. Pemaknaan setiap orang bisa berbeda-beda. Saat kita tahu makna kita berbeda kemudian mendapatkan penjelasannya, eh rasanya jadi berbeda juga. Awalnya kesel karena gak suka dengan kata perfectionist. Padahal dipikir-pikir, yang mulai diskusi dengan kata perfect itu saya. Hahahahaha....

Dan saat menyelami makna yang dimaksud pak suami, kok malah terus mbrebes mili. Genangan air mata tumpah membasahi pipi. Rabbi, innalillahi... Kok saya ga kepikiran ke situ ya selama ini?
You were raised to be perfect. Penanda penghargaan pak suami kepada mereka yang menghadirkan saya ke muka bumi. Rasa syukur pak suami dengan keberadaan saya saat ini. Saya malah lali.

Astaghfirullah....
Allohumaghfirlii waliwalidayya warhamhumma kamaa rabbayani shogiroo.. 
Matur sembah nuwun, Gusti Illahi Rabbi, telah menganugerahi kedua orang tua yang melahirkan, mengasuh, membesarkan serta mendidik saya sehingga saya menjadi seperti sekarang ini. Sayangilah mama dan papa, di dunia dan di akhirat nanti, seperti mereka menyayangi saya selama ini. Indeed, they were raised me perfectly. 

Terima kasih atas pengingatnya, pak suami.... 

Komentar

Postingan Populer