Kamu: Sebuah Pembuka
Aku gak tahu apa yang akan aku tulis tentang kamu.
Aku bahkan gak tahu bagaimana cara memulai rangkaian kata jika berhubungan dengan kamu.
Bencikah padamu? Marahkah aku?
Aku rasa bukan itu.
Rasa? Hahahaa, aku tahu kamu akan tertawa.
Kamu selalu bilang aku wanita tanpa rasa.
Tanpa emosi dalam jiwa.
Kamu salah, tahu?
Tak pernah menunjukkan diri bahwa aku sedih, bahagia, marah ataupun gundah, bukan berarti aku mati rasa.
Aku hanya tak pernah tahu bagaimana cara yang tepat menunjukkan itu semua tanpa khawatir akan memancing reaksi spontan yang senantiasa siap kau lontarkan.
Mana ada manusia ciptaan Tuhan yang tak memiliki perasaan?
Coba sebutkan.
Bahkan Fir'aun saja memiliki rasa kekhawatiran, hingga mengeluarkan maklumat untuk membunuh semua bayi lelaki namun tidak perempuan.
Hhhhm, ya ya. Jelas sekali sekarang rasanya.
Aku hanya ingin menjaga.
Menjaga diri dan raga. Agar tak terpancing adanya. Pada situasi yang nantinya akan kusut tak bermuara. Berlarut-larut, keruh menghitam dan mengotori jiwa serta raga. Apapun yang akan aku katakan, akan kamu anggap sebagai sebuah pembelaan. Penjelasan yang tak akan pernah berterima. Seperti banyak kejadian sebelum-sebelumnya, yang menimpa orang-orang dalam kehidupanmu di dunia nyata. Aku belajar banyak dari mereka semua. Bahwa jika kamu sudah tidak suka, maka akan kamu hapus begitu saja.
Maka, disinilah aku.
Menepi di sudut bisu. Terdiam dengan segala prasangkamu. Yang muncul atas dugaan-dugaan dan salah persepsimu. Aku akan terus menepi disitu, asal kamu tahu. Sambil terus menderaskan banyak doa keselamatan bagimu. Agar Tuhan senantiasa melindungimu, mendekapmu dalam ketenangan yang aku tahu sangat kau perlu. Semoga pada suatu waktu, dalam ketenanganmu, kamu akan menemukan makna atas apa yang kau sematkan padaku, pada orang-orang sebelum aku. Bahwa kamu hanya bermain-main dalam lingkaran perasaanmu, dalam pusaran curiga dan ragu. Bahwa kamu selalu dihinggapi ketakutan dan kekhawatiran bilamana orang-orang disekitarmu akan mengkhianatimu, menyakitimu, menampikkan seluruh jasamu, memanfaatkanmu, dan sejuta hal yang menjadikanmu korban di setiap episode dan waktu.
Disinilah aku,
merapalkan banyak dzikir bagiku juga bagimu. Memohonkan kekuatan bagi kita berdua, agar senantiasa dapat mengarungi derasnya tiupan kecurigaan yang dihembuskan oleh makhluk-makhluk Tuhan yang senang berkhianat. Yang menikmati sesak dada saat syak wasangka bersemburat. Yang bertepuk tangan kala diantara kita sibuk berdebat. Bersorak gembira dengan segala pertengkaran hebat, dendam kesumat, serta putusnya silaturahim yang semula erat.
Disinilah aku,
menanti keberanianmu. Menunggu. Menunggu kamu yang memulai terlebih dahulu. Karena sesungguhnya mendengar berita dan segala hal yang kau rasa dari pihak ketiga, rasanya seperti dihujam palu gada. Terlebih, berita itu tak benar adanya. Mengapa tak kamu langsung tanya? Mengapa harus ada pihak lain yang datang dan takut-takut mengklarifikasi sebuah peristiwa yang nyata-nyata tak pernah ada? Sesungguhnya, ratusan mengapa masih menari-nari di kepala. Menanti jawab yang aku tahu tak akan pernah datang dari mulut kamu. karena kamu terlalu takut untuk mendengar kebenaran. Karena kamu lebih suka untuk merangkai sendiri alur kebenaran menurut jalan pikiran dan perasaan. Karena kamu akan selalu menjadi kamu.
Maka, disinilah aku.
Menghela nafas dalam bisu. Menenangkan diri dengan cara yang aku tahu. Mencoba membingkai ulang seluruh rangkaian peristiwa satu persatu. Menundukkan kepala sejenak, untuk kemudian membiarkannya kembali tegak. Aku tahu apa yang aku mau dan mampu. Aku tahu apa yang aku perlu. Tak akan kudoakan hal buruk lain terjadi padamu, aku hanya berharap bahwa Tuhan akan biarkan sang waktu menjawab dan mengurai apapun yang terserak di sudut itu. Biarkan Tuhan yang bekerja dengan waktu dan rencanaNya. Karena aku percaya, segala hal tak akan pernah terjadi tanpa campurNya. Semua telah tertulis di dalam jalinan skenarioNya. Sama seperti semua hal yang pernah terjadi padaku, padamu, pada setiap insan yang bergerak dalam lintasan rotasiMu. Aku tak pernah ragu akan hal itu.
Maka, disinilah aku.
Mengurai ulang lapisan makna yang sebenar-benarnya melekat dalam kehidupanku di dunia yang sementara ini. Melihat peristiwa aku dan kamu sebagai satu episode kehidupan yang membukakan mata dan jiwa, menyadarkan diri atas kekhilafan. Bahwa aku, tak akan pernah bisa berharap pada manusia. Kecuali Rasul junjungan maha sempurna. Karena ternyata, aku dan kamu, sama. Memiliki banyak kekurangan dan kealpaan. Masih senang bermain-main dengan perasaan dan pikiran hingga mengesampingkan logika dan kebenaran. Bahwa bukan hanya kamu, tapi aku pun masih mengedepankan ego dan rasa dalam menghadapi sebuah peristiwa. Bahwa kemudian, ini menjadikanku tergugu dan terpaku. Menjadi bagian dalam hidupmu, bukanlah tujuan hidupku. Menjadi bagian dalam kebersamaan keseharian, bukanlah jalan dan takdirku. Aku terlalu lama berdiam di zona nyaman yang sempat terciptakan. Zona yang nampak besar dan menyenangkan. Namun ternyata tidak membawaku ke tujuan yang telah aku tetapkan sebelumnya. Yang mungkin telah Tuhan persiapkan jauh-jauh hari sebelum masa kelahiranku ke dunia.
Maka, disinilah aku.
Melihat jelas jalan setapak itu. Tak mulus, sempit berbatu. Namun, tujuanku ada di ujung situ. Terlalu banyak pertanda dan sinyal yang Kau kirimkan padaku, namun aku tak sadari kala itu. Teralihkan banyak hal, termasuk kamu. Bukan, bukan salahmu. Bukan salah pengalih yang berjejer disitu. Ini murni salahku, terjebak dalam bayang semu. Dalam keriuhan dan keindahan sesaat yang menipu. Ini salahku.
Maka, disinilah aku.
Menarik nafas dalam diam, menahannya sejenak mengisi seluruh rongga kehidupan lalu kemudian menghembuskannya perlahan. Aku tahu sekarang. Aku paham sekarang. Aku siap sekarang. Menapaki jalan itu. Jalan yang selama ini menunggu, menantiku melangkahkan kaki sepanjang waktu. Bersiap untuk diinjak, dalam langkah perlahan, lari memburu dan sesekali jatuhku.
Bismillah....
Ini adalah sepenggal kisah, kisah kehidupan yang menampar keras untuk kesekian kalinya dalam hidupku. Yang aku tahu merupakan cara Tuhan untuk menegurku secara perlahan, betapa banyak yang aku lewatkan, sia-siakan. Saat aku hanya bertumpu harapan pada insan. Bukan padaNya sebagai satu-satunya pembuka serta penunjuk jalan. Dalam lembar berikutnya, akan kuguratkan lebih banyak kisah perjalananku mengurai makna atas segala peristiwa yang mewarnai sepanjang kehidupan. Bukan tidak mungkin, kamu pun akan muncul sekali dua, sebagai pelengkap cerita pemahamanku nantinya. Siapa yang akan pernah bisa menduga? Mari kita ikuti alur dari Sang Sutradara.
Komentar
Posting Komentar