Fadhil - 1998


Usia saya delapan belas tahun saat pertama kali mengajar yang dibayar secara professional. Baru lulus sekolah menengah atas dan menunggu semester baru di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Pendidikan Indonesia. Fadhil adalah siswa kelas 4 SD berusia sembilan tahun, anak dari kerabat orang tua saya. Anak bungsu dari 3 laki-laki bersaudara yang terpaut jauh usia dari kakak-kakaknya. Orang tua Fadhil mempercayakan saya temani proses belajar sehari-harinya. Karena saat itu waktu luang memang tersedia banyak, saya terima. Fadhil bukanlah tipe pembelajar cepat yang mudah menyerap materi, apalagi jika berkenaan dengan teks bacaan dan hapalan. Angka pun ia tak terlalu suka. Guru-guru di sekolahnya selalu berkata, “Fadhil itu beda sama kakak-kakaknya, lama sekali mengerti pelajaran, tugas-tugas tak pernah dikerjakan. Sepertinya anak ini mengalami keterbelakangan.”
Deg. Tantangan buat saya yang hanya mahasiswa dan guru honorer minim pengalaman. Satu hal yang saya tahu tentang Fadhil karena kami tinggal dalam satu lingkungan dan salah seorang kakaknya adalah teman adalah matanya berbinar saat bercerita . atau mendengarkan cerita
Maka berceritalah saya. Tentang apa saja. Seperti contohnya, kala bahasan materi di sekolahnya sedang membahas perihal sistem pemerintahan pusat, saya membawa potongan-potongan gambar Presiden dan jajaran pemerintahan lengkap dengan karton besar yang berisi kotak-kotak kosong. Selama pembelajaran, saya bercerita siapa presiden kita, wakilnya lengkap dengan cerita mengenai bagaimana seorang presiden memimpin Negara. Karton dengan kotak-kotak kosong saya sengaja untuk bahan bagan pemerintahan, dimana ada MPR, DPR serta lembaga pemerintahan lainnya. Kemudian kami akan bermain peran, dengan gambar. Lengkap dengan imajinasinya. Sesuai dengan usianya kala itu. Alih-alih memintanya untuk menghapal tugas pook dan fungsi seperti yang tertulis dalam buku teks, saya meminta Fadhil untuk membayangkan seperti apa orang-orang yang bertugas di dalam sistem pemerintahan Negara itu. Sepanjang pembelajaran, ada saja celoteh lucunya. Kami tertawa bersama, saat ia menerangkan bahwa seorang presiden memimpin rapat membahas undang-undang dengan DPR. Lengkap dengan gaya.
Pengalaman kami berlanjut ke mata pelajaran lainnya. Mengajarkan Matematika pada Fadhil tidak bisa hanya dengan memastikan ia ingat rumusnya, melainkan tahu darimana rumus itu berasal dan mengapa kita perlu mempelajarinya. Salah satu contohnya saat pembahasan pecahan dan bilangan desimal. Ia perlu mengetahui dengan jelas untuk apa hal ini dipelajari. Saat saya ceritakan pengalaman membagi pizza dimana ada delapan potong dalam satu kotak, kemudian Ibu memberikan masing-masing sepotong pada Fadhil serta kedua kakaknya sementara sisanya dimakan bapak satpam, dia langsung bilang, “Ga adil dong..”. Hahahhahaaa, kemudian dia memahami mengapa pecahan itu berkaitan erat dengan pembagian dan perannya dalam kehidupan. Agar adil. Setelah memahami konsep itu, kemudian pembelajaran menjadi menyenangkan. Karena selalu ada cerita di balik angka-angka yang kami bahas bersama. Cerita, menjadi alat bantu utama baginya.
Begitupun saat mempelajari IPA. Cerita kami berubah wujud menjadi praktek bersama-sama. Dari mulai saluran pencernaan, pernafasan, jenis-jenis hewan dan tumbuhan, apa saja. Banyak cerita di antara kami berdua. Seminggu empat kali pertemuan selama dua jam tidak pernah membosankan. Bukan hanya Fadhil yang senang, saya juga. Sebagai tutor, saya tertantang untuk terus menerus menggali cerita apa yang akan saya bagi sesuai dengan tema esok hari. Membersamai perjalanan pembelajaran dengan Fadhil membuka mata saya, untuk pertama kalinya, bahwa mengajar bias menjadi momen yang amat sangat menyenagkan dan menantang. Bukan semata dengan capaian hasil akhir akademiknya, namun proses pembelajaran yang luar biasa.
Sampai hari ini saya masih bias membayangkan dengan jelas ekspresi fadhil setiap dating dan membuka pintu pagar rumah saya.
“Mbak, ayo belajar sama-sama kita!” ujarnya dengan senyum mengembang dan mata berbinar. Ah, hangat sekali rasanya. Terkadang saat tugas sebagai mahasiswa mendera, kemudian ada niat untuk menolak kehadirannya, namun tak pernah bisa. Senyuman dan sorot hangat matanya seolah menyihir saya untuk selalu bilang bisa dan memiliki waktu belajar bersama.

            Fadhil sekarang sudah bukan lagi bocah kecil yang belajar bersama hingga lulus SMP kelas 3. Fadhil sekarang telah menjadi seorang bankir dengan karir cemerlang, seorang istri dan putri batita yang cantik. Sebulan lalu kami bertemu di kompleks rumah orang tua kami, dia menggenggam tangan saya erat dan berkata, “Makasih udah sabar sama aku, ya Mbak. Ga tau deh kalau dulu Mbak gak temenin aku belajar, mungkin ga ada deh Fadhil yang sekarang.” Matanya berkaca-kaca, senyum tulus mengembang di wajahnya. Saya? Tergugu dan termangu. Ada bulir hangat disitu. Istrinya memeluk dengan hangat, sepertinya ia tahu cerita sang suami di masa lalu.

#MengajarDenganHati

Komentar

Postingan Populer