Guru Juga Manusia

Sebait lagu “Rocker Juga Manusia” nampaknya akan sesuai dengan kondisi yang dihadapi para guru di belahan dunia manapun. Ya, guru juga manusia. Sosok dengan jargon digugu dan ditiru serta pahlawan tanpa tanda jasa, nampaknya memang dituntut untuk menjadi manusia sempurna. Sesuatu yang seolah menggedor pintu nurani setiap jiwa para guru, yang terkadang ingin berontak dan berkata, “apakah memang ada sosok sempurna?”.
Sungguh, sebagai seorang guru yang berkiprah sejak dua puluh tahun lalu, saya merasa bahwa proses perjalanan menghayati prinsip agar senantiasa ajeg dan konsisten pada peran yang saya pilih memang membutuhkan perjuangan yang luar biasa. Tuntutan peran profesi guru yang diemban, dihadapkan pada kenyataan bahwa sebagai manusia, kami juga mengalami perasan yang berubah-ubah dari hari demi hari, waktu demi waktu, siswa demi siswa serta situasi demi situasi yang berbeda-beda. Dimana kondisi-kondisi itu semua, benar-benar menguji kematangan berpikir dan jiwa, agar bisa senantiasa menjaga pikir, rasa, laku dan kata. Kondisi yang memiliki potensi berbahaya terjadi manakala seorang guru pada akhirnya memilih untuk menekan perasaannya dan kemudian berpura-pura.
Hubungan yang berdasarkan kepura-puraan antara guru – siswa lambat laun akan mendorong emosi negative di antara persona yang merasa harus menerima perilaku yang tidak mereka sukai. Patut digaris bawahi, sebagian besar guru menjalani kondisi berpura-pura ini demi untuk memerankan peran sebagai “guru yang baik”. Namun, penting untuk diketahui bahwa secara mengejutkan, siswa di segala usia, sangatlah peka terhadap sikap guru (Trip, et. Al, 2018; Messiou, et.al, 2016). Bagaimanapun cara mempraktekkannya, seorang guru akan mengirimkan isyarat dan sinyal non-verbal tentang perasaan diri yang sebenarnya, dimana para siswa memiliki kemampuan naluriah yang luar biasa untuk menangkap dan memahami pesan-pesan tersebut. Kerutan di kening, ketegangan tubuh, atau nada suara bisa memberi tahu siswa bahwa guru tersebut kemungkinan besar tidak menyetujui tindakan mereka. Saat itulah seorang siswa akan merasa bahwa guru tersebut tidak menyukainya. Sebuah catatan penting bisa dilakukan disini, menempatkan siswa pada posisi sedemikian rupa sejatinya akan menumbuhkan rasa frustasi dan ketidaknyamanan.
Sebagai contoh, misalnya, saat seorang siswa mengumpulkan tugas melewati batas waktu yang disepakati. Anda merasa kesal dan berniat akan memotong nilai dalam hati. Saat siswa Anda mengatakan maaf, Anda menganggukan kepala dan senyum menyeringai dengan terpaksa. Mengirimkan siswa pesan yang bertentangan seperti ini sesungguhnya menghadapkan Anda dan siswa Anda pada kondisi “pengujian”, perasaan tidak aman, cemas serta menyebabkan mereka menyimpulkan bahwa Anda secara diam-diam menolaknya. Sebenarnya, akan lebih mudah bagi para siswa untuk berurusan dengan orang-orang (guru, pen.) yang bersikap tegas, keras dan mengungkapkan apa yang dirasa daripada orang-orang yang secara lahiriah nampak seperti manis, permisif dan baik namun berkomunikasi non-verbal yang bertentangan dengan apa yang ada di pikirannya.
Dampak atas kejadian tersebut terkadang tidak berhenti disitu. Seorang siswa yang tentu saja tidak lebih dewasa dari gurunya, akan menemui kesulitan untuk memahami bahwa yang tidak berterima adalah kesalahannya, bukan dirinya sebagai pribadi siswa. Saat ia mendapati kenyataan bahawa gurunya mengatakan tidak apa-apa ketika ia terlambat mengumpulkan tugasnya namun kemudian pesan non-verbal yang dikirimkan berbeda, dan kemudian nilai yang ia dapati pun berbeda, ia akan mulai merasa bahwa guru tersebut tidak menyukai dirinya sebagai pribadi. Tentu saja hal ini akan menimbulkan permasalahan baru, dimana reaksi yang ditunjukkan oleh siswa atas apa yang dipikirkannya akan berpengaruh dengan cara ia menghadapi Anda dalam keseharian. Tanpa komunikasi yang baik, posisi guru-murid akan berputar di lingkaran kecurigaan dimana saat emosi memuncak, keseluruhannya akan bertumpuk.
Menafikkan apa yang menjadi beban pikiran serta perasaannya, mengendapkan emosinya. Sedikit demi sedikit, sehingga menumpuk adanya. Hingga pada puncaknya, kondisi kestabilan emosi dan jiwanya menjadi teraniaya, lalu akhirnya meledak tak terkendali karenanya. Kejadian demi kejadian yang terjadi di dunia pendidikan nasional memberikan contoh nyata kepada kita semua.

Naudzubillah…

Komentar

Postingan Populer