Pernikahan: Saat Berjauhan

Pernah dengar istilah LDR atau Long Distance Relationship?
Diterjemahkan secara bebas sebagai Hubungan Jarak Jauh, dimana pasangan suami istri tidak hidup bersama dalam satu lokasi selayaknya rumah tangga biasa.

Secara pribadi, saya belum pernah menjalani hubungan semacam ini secara permanen, setidaknya tidak dalam jangka waktu yang lama. 
Jikapun saya dan suami mesti terpisah berbeda kota, negara ataupun benua, jangka waktu terlama hanya dua puluh harian lamanya. Tapi sejujurnya, memang ada yang berbeda. Secara fisik amatlah sangat terasa. Yang biasanya minimal bersama saat senja hingga pagi hari tiba, mendadak tidak ada. 

Ada yang hilang? Tentu saja.

Perbedaan waktu menambah meriah suasana. Bukan hanya jarak, ternyata. 

Beberapa tahun lalu, saya dan suami prnah mengalami perbedaan waktu hingga tujuh jam lamanya dimana waktu terbaik untuk berkomunikasi semestinya bisa kami lakukan saat akhir pekan tiba. Kami berlima bisa melakukan komunikasi melalui Video Call untuk melepas kerinduan yang melanda. Saat itu, anak-anak saya sebelas, sembilan dan lima tahun usianya. 

Tapi masa hanya akhir pekan? Saya dan suami yang terbiasa berangkat dan pulang kerja bersama-sama, selalu merasa perlu untuk meluangkan waktu bertukar pikiran dan bercerita setiap hari. Khusus hari kerja, waktu terbaik kami semestinya dilakukan saat suami pulang dari kantornya. Repotnya, di waktu-waktu tersebut, kegiatan kerja saya di belahan benua sana baru saja mulai ritmenya. Jam empat sore waktu Indonesia Barat artinya jam sembilan pagi waktu setempat. Alhasil, perbincangan kami banyak tersela dengan beberapa agenda. Belum saat Pak suami juga ternyata ada jadwal rapat di luar jam kerja. Gak khusyu jadinya. Saat saya pulang ke apartemen sekitar jam tujuh malam, di Indonesia sudah jam dua pagi. 

Cara mengatasinya? Kami sepakat, I slept late and he woke up early.

Semulus itu?
Hehehehehe, enggak juga. 
Terkadang rasa lelah, baik badan, pikiran dan perasaan, tuntutan pekerjaan, serta kondisi kesehatan mempengaruhi kualitas percakapan.

Pernah saat berjauhan, si penengah yang masih berusia sembilan, mendadak demam berkepanjangan. Duuuh, betapa teriris-iris perasaan. Anak sakit saat tinggal berjauhan. Terbayang repotnya Pak suami mengurus sendirian, ditingkahi polah dua jagoan lainnya di kediaman. 

Dari jauh, melalui telepon, saya menjelaskan hal-hal yang perlu dan biasa saya lakukan. Gerakan pijatan, mengatur alat kompresan, kapan waktu mengukur suhu badan, asupan makanan, minuman, dan rentetan kebiasaan saya saat merawat para jagoan. Meski pasangan berusaha meyakinkan bahwa semua dalam keadaan terkendali dan aman, khawatir dan cemas tetap menggelayuti pikiran. Well, namanya perempuan. Tanpa saya sadari, intensitas kecerewetan saya naik beberapa level. Hal ini malah membuat Pak suami menjadi senewen dan secara psikologis anak kami malah jadi ikutan rewel.
Gustiiii.....

Maka, saat itu kami memutuskan untuk menetup telepon terlebih dahulu. Duduk tenang, atur nafas. Mengotak-atik isi pikiran, memusatkan diri mencari titik ketenangan. Ambil air wudlu, shalat sunah sambil melantunkan dzikir dan istighfar. Semenit, dua puluh menit, alhamdulillah.....

Meraih telepon genggam, pesan singkat dikirimkan.

Ade gimana, sayang?

Menunggu jawaban. Mengambil segelas air dari kran, meneguknya perlahan seraya menderaskan doa kesembuhan.

Allohumma robban naas mudzhibal baasy isfyi antasy-syaafii, laa syafiya illaa anta syifaa'an, laa yughaadiru saqoman.

Telepon genggam bergetar, ada pesan di layar.

Demamnya mulai mereda. Sudah mau minum dan tidur. Kita lihat besok, yaa...

Alhamdulillah......

Kabari Ayang kalau sudah bisa bicara di telepon, ya?

Beberapa menit kemudian, Pak suami menghubungi. Keadaan sudah jauh membaik kali ini. Nada suara saya sudah tidak lagi meninggi. Mendengar suara Pak suami, rasanya tenang sekali di hati.

Ah, sungguh saya salut dan angkat topi bagi para pasangan yang terpaksa menjalani hubungan LDR seperti ini. Dua puluh hari saja sudah lumayan menguras hati. Bagaimana bertahun-tahun, dengan banyak musim berganti? Tak terbayangkan bagaimana banyak praktek edit submodality serta reframing yang perlu mereka jalani. Karena jika bisa, mereka tentunya akan memilih untuk tinggal dalam rumah yang sama, menjalani berdua. 

Sungguh pengalaman yang luar biasa. Pengalaman yang mengajarkan saya untuk senantiasa mengatur pikiran serta rasa. Kadang saya lupa, karena saya manusia. Namun, sesuai fitrahnya, manusia akan terus berusaha untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya, Pengalaman seperti ini pulalah yang menjadi guru terbaik saya. Beruntungnya saya memiliki teman seperjalanan yang senantiasa tak lelah untuk saling mengingatkan. Salam takzim penuh cinta bagi Pak suami kesayangan. Semoga Allah meridloi samudera pernikahan kita ya, Pak Irwan? Baik saat dekat maupun berjauhan.

Ya Allah, berkatilah keluarga kami, jaga selalu hati kami, penglihatan kami, pendengaran kami, pasangan kami serta keturunan kami. Ampunilah kami dan jadikanlah keluarga kami termasuk ke dalam golongan orang-orang mukmin yang Kau ridloi. Aamiin, ya Allah ar Rahman....

Komentar

Postingan Populer