Jaga Lisanmu

Kemarin dalam perjalanan bersama pak suami,
iseng kami mendengarkan radio sambil menikmati kepadatan jalan pagi hari.
Beberapa lagu diselingi dengan diskusi,
apa yang menghalangi karir seorang lelaki?
Lalu salah seorang penyiar wanita berkata pada rekannya,
"Nah, kalau perempuan kaya aku ini kan ada halangan "reuneuh", ya? Yakali bisa maksimal."

DEG.
Langsung terasa ada yang mengganjal. Emosi yang menggumpal. Rasa kesal.

Kenapa?

Begini, "reuneuh" adalah kata dalam bahasa Sunda yang berarti hamil. Sampai disini masih biasa. Apa salahnya penyiar tadi mengucapkan kata tersebut? Tunggu sebentar.....

Bahasa Sunda sebagai bahasa daerah memiliki tata krama bahasa, atau disebut undak usuk basa Sunda, yang terbagi atas dua jenis, yaitu Basa Hormat/Lemes (Bahasa Halus) dan Basa Loma (Bahasa Akrab/Kasar).

Nah, dalam terminologi Bahasa Sunda, "reuneuh" berarti hamil, namun dikategorikan sebagai basa loma. Bukan berarti tidak boleh menggunakan basa loma. Boleh saja, selama pilihan kata yang dipakai merupakan kata yang sesuai dengan lingkup pergaulan kawan-kawan dekat (basa loma akrab) dan bukan merupakan kata yang digunakan pada objek hewan atau dalam kondisi marah besar/murka.

Nah, disini letak masalahnya.

Penyiar tadi menyebutkan kata tersebut live on air didengar oleh banyak orang, yang meski bisa disebut akrab, namun tetap tidak pada tempatnya. Karena bahasa yang mengawali dan mengikuti kata yang ia pilih adalah bahasa Indonesia. Mengapa memilih kosa kata bahasa Sunda yang berkonotasi kasar?

Amat sangat disayangkan. Karena radio ini cukup terkenal di radio Bandung, dengan radius yang luas dan jumlah pendengar yang sangat banyak. Terbayang di benak saya, para pendengar yang mengagumi penyiar tersebut akan mengikuti penggunaan kata dan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Lebih karena tidak memahami dan menganggap bahwa hal tersebut keren.

Kata seperti itu tak hanya satu,
ada banyak ragam kata dalam basa loma lain yang terlompat selama siaran itu berlangsung.
Bercampur dengan bahasa Indonesia masa kini, meledak-ledak bertubi-tubi tanpa ragu.
Saya hendak menuliskannya pun, malu.

Duh,
sebut saya lebay. Terlalu dalam memikirkan sesuatu.
Sesungguhnya hanya karena saya peduli akan akibat yang terjadi setelah itu.
Hai, mbak penyiar sayangku,
kemana rasa merasamu?
Ringankah lidahmu saat kata-kata itu meluncur dari mulutmu?
Seringan dan serenyah tawamu?
Masihkah kau akan tertawa jika salah seorang anakmu kelak yang berucap seperti itu?

Lihat, dengar, rasakan.

Segala apa yang terucap akan dimintai pertanggungjawaban.
Bahkan untuk hal-hal yang dianggap sebagai candaan.

Sungguh, jangan sampai kelak terjadi penyesalan.
Saat masa sebenar-benarnya pengadilan.
Saat dimana lidah akan berhenti menjadi teman.
Dan sekujur badan memberikan kesaksian.

Maka pun jika kau meragu,
tak paham akan arti ucapanmu,
menahan diri akan jauh lebih baik untukmu.




Komentar

Postingan Populer