Perkara Menunda

"Saya ingin rutin olahraga."
"Saya mau menyelesaikan buku saya."
"Saya berharap bisa memulai memasak untuk keluarga."
"Saya ingin mulai menabung untuk hari tua."

Mau ini, mau itu, ingin ini, ingin itu, banyak sekali seperti lagu Doraemon kawan baik Nobita. Tanpa disadari, sebagai manusia, kita memiliki sekali keinginan, harapan untuk mencapai tujuan. Tapi saat ditanya, kapan? Seringkali mengedikkan bahu kemudian tersenyum tanpa jawaban. Atau, menjawab dengan banyak sekali alasan.

"Eeemm, kayanya minggu depan, karena masih ada pekerjaan dan tanggungjawab lain yang perlu dikerjakan."

Atau,

"Segera sih. Tergantung kelengkapan sumber daya dan semua aspek pendukungnya. Tapi pasti nanti dikerjakan. Semua akan selesai pada waktunya."

Atau,

"Nah, itu dia. Kapan ya? Inginnya secepatnya. Tapi kok ya ada aja penghalang yang buat saya ga kunjung bergerak ke arah sana."

Eng ing eeeeng.... 

Menunda adalah menangguhkan sesuatu urusan dengan harapan untuk dapat diselesaikan. Menunda sesuatu yang akan membawa efek mudharat dan keburukan tentu saja merupakan pilihan yang tepat. Atau menunda dikarenakan ada aktifitas lain yang memang lebih penting secara syar'i, misal shalat atau sesuatu yang darurat, untuk kemudian segera dilaksanakan setelahnya, tentunya tidak terlalu menjadi masalah utama.

Namun, menunda sesuatu yang merupakan kewajiban ataupun hal yang memiliki maksud serta manfaat kebaikan tentu saja semestinya bukanlah suatu pilihan.

Islam mengajarkan, "Laa tuakhir ‘amalaka ilal ghaadi maa taqdiru an-ta’malal yaum" (janganlah kamu menunda-nunda pekerjaanmu besok hari, apa yang bisa kamu lakukan sekarang).

Karena esok atau nanti masih merupakan misteri dan rahasia Illahi. Siapa bisa menjamin bahwa kita masih memiliki nanti? Siapa bisa memberikan garansi, bahwa kesehatan dan kesempatan akan terus ada dalam genggaman? Belum lagi mengenai hak dan kewajiban yang perlu ditunaikan dan akan menjadi efek penundaan yang kita lakukan?

Seorang guru pernah berkisah tentang Ibnu ‘Atha yang berkata bahwa, “Sesungguhnya pada setiap waktu yang datang, maka bagi Allah atas dirimu kewajiban yang baru. Bagaimana kamu akan mengerjakan kewajiban yang lain, padahal ada hak Allah di dalamnya yang belum kamu laksanakan?”
Pernahkah kita menyadari bahwa kewajiban kita sesungguhnya menjadi lebih banyak daripada waktu yang kita miliki, ketika saat kita menunda dari menyelesaikannya? Karena sejatinya saat menunda, kita sedang menumpuk-numpuk kewajiban. Semakin kita menunda maka semakin banyak hal yang perlu kita selesaikan. Dimana pada akhirnya, saat kita menunda itu sama saja artinya kita mengijinkan diri untuk hidup dalam tumpukan-tumpukan kewajiban yang perlu diselesaikan dalam waktu yang lebih sedikit. Bukankah waktu adalah sesuatu yang tidak berada dalam genggaman kendali kita?
Kemudian bagaimana kita bisa berharap bahwa  kita akan bisa hidup dan bekerja dengan tenang, nyaman, dan menyenangkan? Karena efek menunda justru membuat hidup berjalan sebaliknya. Hidup yang dihantui sekian banyak tugas dan kewajiban yang harus dikerjakan. Lebih parah lagi, jika kemudian ada beberapa kewajiban yang tidak bisa kita tunaikan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pikiran yang pada akhirnya akan mendapatkan kegagalan demi kegagalan yang diakibatkan oleh kebiasaan menunda tersebut.
Seberapa sering terdengar ungkapan penyesalan? 
"Seandainya saja..."
"Jika dan hanya jika..."

Astaghfirullah al adzhiim....

Dalam NLP, menunda adalah suatu tindakan. Dimana tindakan itu perlu didorong oleh suatu state (perasaan) sebagai alasan kuat untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan. Jadi, saat kita memutuskan untuk menunda, coba periksa makna kegiatan yang kita tunda. Periksa dengan seksama lapisan-lapisannya. Jangan-jangan ketidakselarasan antara keinginan ingin melaksanakan dan belum bergeraknya kita untuk mengerjakan disebabkan oleh belum adanya makna yang mendalam atas suatu tindakan? 

Lihat, dengar, rasakan.

Pada dasarnya, secara fitrah manusia tidak akan melepaskan sesuatu yang penting dan memiliki arti mendalam dalam genggaman. 

Lihat, dengar, rasakan.

Saat kita melaksanakan suatu perkara tepat waktu, berada dimanakah kita? Bersama siapa? Bilakah waktunya? 
Perilaku apa yang kita miliki untuk dapat melaksanakan hal tersebut tepat waktu?
Kemampuan apa yang kita miliki untuk menunjang terlaksananya hal tersebut?
Apa keyakinan yang kita miliki agar hal itu bisa terlaksana?
Kenali diri, siapa kita saat bisa melaksanakan sesuatu tanpa menunda? 
Apa yang Allah inginkan dari kita saat bisa melaksanakan sesuatu hal tepat waktu? Apa maknanya? 

Lihat, dengar, rasakan.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda berkenaan dengan pentingnya tidak menunda dan menyegerakan suatu urusan,  “Bersegeralah melakukan perbuatan baik, karena akan terjadi fitnah laksana sepotong malam yang gelap.” (HR. Muslim). 

Manfaatkan waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu. Maknai, maknai, maknai wahai diri. Jika mati sudah tak lagi bisa menjadi nasihat bagi pribadi, maka periksa lagi. Jangan-jangan, hati kita telah mati jauh sebelum kematian yang hakiki datang menghampiri.


Na'udzubillahi mindzalik, tsumma na'udzubillah.... 

Komentar

Postingan Populer