Seismophobia

Gempa terjadi tengah malam tadi.
Getaran yang cukup kuat dengan waktu yang lama, membuat saya terjaga.
Membangunkan seisi rumah, berpakaian seadanya lalu keluar dari rumah.
Setelah cukup aman, kami putuskan untuk kembali.
7,3SR di daerah Tasikmalaya menurut berita di televisi.
Innalillahi....

Tadi pagi, gempa terasa lagi.
Lebih kecil kali ini, anak-anak bingung saat saya peluk mereka lalu ajak berlari.
Mereka bilang, "Kenapa Bunda?"
"Gempa, Nak."
"Gak ada."

Di luar kami buka aplikasi BMKG, ternyata 5,7SR di daerah Garut.
Anak-anak heran, "Kok, Bunda kerasa? Kita kok enggak?"

Sambil berbisik saya bilang, "Bunda seismophobia."
"Haa?"

Maka kemudian saya bercerita pada mereka bertiga. Seismophobia adalah satu dari sekian banyak rasa takut yang berlebihan pada sesuatu (fobia), dalah hal ini rasa takut pada gempa bumi. Kata seismophobia berasal dari bahasa Yunani, seismo,  yang berarti kelaparan, gempa bumi, atau perang dan phobos, yaitu Tuhan Yunani yang takut.

Fobia inilah yang membuat saya sangat peka pada getaran-getaran kecil yang terjadi di sekitar saya. Pernah saya dulu gemetar bersembunyi di bawah meja pedagang soto di belakang kampus karena ada getaran di meja. Teman-teman yang kebingungan melihat saya, bertanya penyebabnya. Sambil ketakutan, saya bilang ada gempa. Mereka tertawa, ternyata ada Bapak-bapak yang duduk di ujung meja panjang sana sedang menggoyang-goyangkan kakinya sedemikian rupa.

Lalu, pernah juga saya menangis di pojok lift tertutup di sebuah hotel di Pattaya, Thailand, karena ada siswa yang melompat-lompat di dalam meski saya sudah minta untuk berhenti. Getarannya luar biasa (bagi saya), jantung seperti mau copot rasanya. Melihat saya menangis, siswa tersebut kaget lalu memeluk meminta maaf. 

Atau yang baru terjadi semalam, sekitar jam delapan, saat saya menemani pak Suami dan teman-temannya persiapan acara di sebuah hotel seberang mal Paris Van Java. Saya duduk di bagian depan terlompat saat merasakan getaran. 
"Gempa ya, Mas?" tanya saya ke petugas hotel yang sedang menyusun kursi.
"Kenapa, Bu?" tanyanya.
"Ini kok bergetar begini lantainya?" ujar saya sambil berusaha pergi menjauh.
"Ooh, bukan, Bu. Lantainya memang bergetar setiap ada yang lewat di spot bagian sini, Bu. Bukan gempa, kok."
Meski bukan gempa, rasanya deg-degan luar biasa. Saya kemudian memilih untuk pindah tempat. Tersiksa soalnya.

Duh, mau sampai kapan?

Rasa takut itu fitrah. Tapi jika berlebihan, berarti musibah.
Bismillah...

Masa pembelajar NLP begini?
DEG. Suara kecil di ujung pikiran terdengar pagi ini selepas gempa tadi.

Bersikap waspada memang perlu. Tapi takut berlebihan sepertinya bukan bagian dari itu.

Baiklah.

Buka-buka referensi mengenai fast phobia cure menggunakan teknik NLP. 
Aaaah, saya perlu disasosiasi dan edit submodality. Lihat diri saya saat takut ketika ada getaran dari sisi kacamata lain. Melihat diri sendiri dari luar. Mengedit rasa yang muncul saat ada getaran, mengotak atik gambaran, suara dan segala yang saya bisa. Memeriksa kembali rasa saat getaran-getaran dibuat, jika masih ada, ulang kembali semua proses edit. Lihat, dengar, rasakan. Berulang, sehingga siap memutuskan untuk menghapus dalam pikiran. 

Bismillah, mohon perkenanMu ya, Allah....
Sesungguhnya aku berlindung dari segala hal buruk yang akan terjadi padaMu.
Bersiap untuk getaran-getaran dalam hidup, yang mungkin akan terjadi dalam hidup ini. Sebagai akibat atas pergerakan yang terjadi. Pergerakan bumi, maupun pergerakan sebagai mekanisme kehidupan yang alami.

Saya belum tahu keberhasilan atas proses yang saya lakukan, minimal saya telah berusaha untuk memberikan makna atas rasa takut yang saya miliki. Bismillah, semoga saya siap menghadapi.

Laa hawlaa walaa quwwata illabillahil aliyyul adzhiim...

Komentar

Postingan Populer